SiwinduMedia.com – Jadwal pelantikan serentak para Kepala Daerah baik Provinsi (Gubernur-Wagub) maupun Kabupaten (Bupati-Wabup) dan Kota (Walikota-Wawalkot), kembali mundur. Padahal sebelumnya sudah dipastikan pelantikan akan dilaksanakan pada 6 Februari 2025.
Seperti dilansir dari kompas.id, rencana pelantikan kepala daerah pada 6 Februari 2025 batal diwujudkan karena menunggu putusan dismissal terhadap 310 perkara pemilihan kepala daerah yang tengah dibahas oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pengunduran jadwal pelantikan ini dilakukan agar semakin banyak kepala daerah yang bisa dilantik bersamaan, sehingga prinsip keserentakan bisa berjalan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, di Jakarta, Jumat (31/1/2025), mengatakan, penundaan pelantikan kepala daerah ini dilakukan setelah ada informasi dari Mahkamah Konstitusi terkait jadwal sidang dismissal terhadap permohonan sengketa pilkada. Sidang ini mengacu pada gugur atau tidaknya perkara terkait proses pilkada serentak pada 27 November 2024 yang masuk ke MK.
Sidang tersebut bakal berlangsung pada 4-5 Februari 2025 atau lebih cepat dari rencana sebelumnya pada 11-13 Februari. Setelah mendengarkan masukan dari berbagai pihak, lanjut Tito, pemerintah akhirnya memutuskan menunggu putusan dismissal tersebut dengan alasan untuk memperbanyak kepala daerah yang dilantik serentak.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 296 kepala daerah, mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota tidak mengajukan gugatan sengketa pilkada. Berdasarkan rencana sebelumnya, lanjut Tito, ratusan pasangan kepala daerah ini bakal dilantik pada 6 Februari 2025.
”Saya paham bahwa MK juga menghendaki agar yang nonsengketa dengan yang hasil putusan dismissal pelantikannya disatukan agar lebih banyak keserentakan. Prinsip ini kami setuju sehingga kami juga memohon kepastian dan kecepatan dari MK untuk mengunggah hasilnya setelah ditetapkan,” tutur Tito.
Tito belum bisa memastikan tanggal pasti pelantikan, termasuk jumlah total kepala daerah yang akan dilantik. Namun, dia telah memperkirakan sejumlah tanggal dan akan menyodorkan pilihan tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto. Pihaknya juga akan berkonsultasi terkait perubahan tanggal tersebut bersama Komisi II dalam Rapat Kerja yang direncanakan berlangsung pada Senin (3/1/2025).
”Saya sudah menyampaikan tanggal-tanggal tersebut kepada Pak Presiden dan masih punya waktu untuk memutuskan tanggal yang mana. Sekali lagi, undang-undang menyebut jadwal dan tata cara pelantikan pilkada serentak diatur dengan peraturan presiden. Jadi, Presiden yang menentukan jadwalnya dan saya sudah menyampaikan exercise terkait itu,” kata Tito.
Kebijakan ini mengacu pada Pasal 165 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pasal tersebut menyebutkan jadwal dan tata cara pelantikan para kepala daerah ini diatur dengan peraturan presiden.
Tito juga menyatakan perubahan tersebut bisa dilakukan karena masih sesuai dengan koridor hukum. Dia menyatakan, masih ada pasal-pasal pada UU No 16/2016 yang belum dicabut sehingga masih bisa dipergunakan dalam menentukan tanggal pelantikan meskipun berbeda tanggal dengan pihak-pihak yang masih bersengketa nantinya.
Menurut Tito, pelantikan yang dilakukan secepatnya ini berguna untuk kepastian politik di daerah. Hal ini juga berdampak pada dunia usaha dan perputaran ekonomi serta efisiensi dan efektivitas pemerintahan.
”Pasal-pasal yang tidak dicabut masih kami ikuti sebagai hukum positif. Bukan hanya itu, polarisasi karena pilkada bisa selesai setelah pelantikan ditetapkan, dan ada banyak faktor lainnya,” kata Tito.
Sebelumnya, rencana pelantikan kepala daerah nonsengketa pada 6 Februari 2025 telah dibahas dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR pada 22 Januari lalu. Dalam rapat tersebut, sebagian besar fraksi di Komisi II menyetujui agar pelantikan lebih cepat dilaksanakan. Padahal, MK menghendaki adanya pelantikan serentak setelah sengketa pilkada yang masuk telah selesai.
”Banyak sekali aspirasi daerah berharap kepala daerah terpilih segera dilantik. Banyak daerah yang mengalami kekosongan kepemimpinan dan dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Kalau memilih serentak seperti putusan MK, jeda waktunya berarti begitu lama,” kata Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Gerindra Bahtra Banong dalam rapat tersebut.
Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraeni, berpendapat, pelantikan yang diundur ini menjadi langkah yang tepat. Hal ini mengacu pada isi Putusan MK No.46/PUU-XXII/2024 yang menghendaki pelantikan kepala daerah dilakukan secara serentak setelah MK memutus perselisihan hasil pilkada, baik untuk perkara yang tidak dapat diterima maupun ditolak.
”Pelantikan bergelombang seperti yang direncanakan pemerintah dan akan dimulai pada 6 Februari 2025 adalah bertentangan dengan pengaturan pelantikan serentak yang termuat dalam UU Pilkada ataupun sejumlah putusan MK. Pelantikan harus menunggu selesainya proses penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di MK,” papar Titi.
Menurut Titi, pengecualian hanya dimungkinkan bagi daerah yang melaksanakan pemilihan ulang, pemungutan suara ulang, atau penghitungan suara ulang karena adanya putusan MK. Selain itu, adanya faktor force majeure juga menjadi pertimbangan dalam pelantikan di waktu yang berbeda.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menyatakan, pelantikan yang tidak konsisten ini menunjukkan pemerintah tidak matang dalam membentuk peraturan. Padahal, pelantikan kepala daerah tersebut harus memiliki kepastian agar masyarakat lebih tahu waktu menyambut pemimpin baru mereka.
”Dari sini, kita semua harus mengambil pelajaran, jangan sampai asal-asalan membuat peraturan,” ujar Djohermansyah.
Selain itu, Djohermansyah juga menyayangkan pelantikan seluruh kepala daerah yang dilakukan oleh Presiden dan pemerintah pusat. Hal ini dikhawatirkan akan menggerus semangat otonomi daerah, bahkan mengurangi koordinasi antara bupati dan gubernur dalam menjalankan roda pemerintahan.
”Pelantikan ini bisa menunjukkan sentralisasi. Seharusnya jangan begitu karena semangat otonomi daerah juga ada saat pelantikan yang disaksikan masyarakat di daerah. Pelantikan terpusat ini juga berujung pada penghabisan anggaran, terutama bagi daerah yang jauh,” tutur Djohermansyah.