SiwinduMedia.com – Banyak orang menyangka bahwa urbanisasi adalah sumber masalah. Prasangka tersebut juga menular kepada kepala daerah seperti Plt Gubernur Jakarta, Walikota Surabaya dan banyak kepala daerah lainnya. Para kepala daerah tersebut terlihat keras dan tegas kepada para pendatang baru saat musim lebaran selesai.
Mereka menugaskan satpol PP untuk berjaga di terminal dan pintu masuk kota dengan memeriksa KTP para pendatang dan berjanji akan memulangkan mereka yang bukan ber-KTP wilayah setempat.
Pendatang pun dianggap sumber masalah dan mereka seperti warga negara yang harus dimusuhi. Seolah-olah kepala daerah tersebut hidup hanya di kotanya dan tidak membutuhkan daerah lain. Sayangnya kebijakan kepala daerah tersebut didiamkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan instansi Pemerintah Pusat lainnya.
Padahal kebijakan tersebut adalah kebijakan anti NKRI dan anti UUD 1945 dan Pancasila.
Bahkan beberapa pemerintah daerah mengeluarkan perda agar perusahaan berdomisili di daerah tersebut hanya merekrut warga dengan ktp daerah itu. Seperti dalam perda No 1/ 2023 di Surabaya. Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 2023 menetapkan bahwa perusahan di Surabaya hanya memprioritaskan warga Surabaya, khususnya warga sekitar. bukan pendatang.
Tindakan tersebut dapat menyebabkan rusaknya persatuan dan menimbulkan kecemburuan besar antar warga negara.
Paradigma seperti ini menunjukan urbanisasi sebagai masalah. Apa benar demikian?
Sebenarnya urbanisasi tidak terjadi di negara ketiga seperti Indonesia, Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Jepang, juga banyak masyarakat yang melakukan urbanisasi. Mereka menilai perpindahan orang dari desa ke kota sebagai sesuatu yang positif bahkan diberikan insentif. Urbanisasi dinilai sebagai sesuatu yang positif. Urbanisasi sebagai fenomena usaha merubah nasib warga ke arah lebih baik. Ada spirit ingin berubah dan ingin bekerja lebih keras, lebih cerdas dan lebih menguntungkan. Passion ini sering melemah pada diri pemukim lokal yang merasa sudah nyaman tinggal di wilayahnya.
Dalam perspektif pembangunan, ekonomi akan tumbuh cepat manakala manusia-manusia diatasnya punya passion kuat untuk berubah dan untuk sejahtera. Jadi Urbanisasi adalah sesuatu yang positif manakala dikelola dan dikanalisasi dengan baik.
Passion dari pendatang tersebut akan sangat menopang pertumbuhan pembangunan di kota yang menjadi destinasi urbanisasi. Setiap kota yang tumbuh industrialisasinya membutuhkan tenaga kerja baru dan itu diperoleh dari desa-desa disekitarnya.
Setidaknya itu terjadi pada awal abad 20 ketika kota-kota besar mulai meningkat industrialisasinya. Batavia dan Surabaya merupakan tempat singgah masyarakat untuk mencari penghidupan.Di zaman Hindia Belanda para pendatang diterima dengan tangan terbuka. Sayangnya di era kemerdekaan yang ke-78 tahun ini, Urbanisasi dianggap momok dan sumber masalah. Kondisi kemerdekaan malah dirusak ego sentris kepala daerah yang hanya memikirkan kotanya sendiri. Seolah mereka hidup diruang hampa.
Tren Urbanisasi Tidak Dapat Dihindari di Masa Depan
Sebenarnya tren urbanisasi ini diprediksi akan semakin besar. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, sebanyak 56,7% penduduk Indonesia telah tinggal di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 66,6% pada 2035. Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70% dari total populasi di tanah air.
Melihat tren tersebut, urbanisasi tidak dapat dihindari di masa depan. Kebijakan publik yang cerdas adalah bukan kebijakan melarang urbanisasi namun mengarahkan urbanisasi akar menjadi solusi pertumbuhan ekonomi dan bukan masalah ekonomi. Sekarang pertanyaan strategisnya adalah apa yang harus dilakukan para pengambil kebijakan untuk mengambil manfaat dari gelombang urbanisasi tersebut.
Kota Besar Lumpuh Karena Salah Urus
Situasi saat ini, kota besar tidak seperti dulu dimana kota tersebut tidak mampu lagi menopang masyarakat urban, masalah baru pun bermunculan. Masalah tersebut antara lain kemiskinan, kesenjangan, munculnya permukiman kumuh, pengangguran. Alih-alih masyarakat ingin mendapat solusi atas problem di desa, nyatanya banyak diantara mereka yang bertambah problemnya di kota. Dalam perspektif seperti ini mungkin kebijakan menghalang-halangi pendatang dapat dibenarkan. Namun hal tersebut tidak akan efektif, selalu ada cara untuk pendatang datang ke kota.
Lebih baik, kita jujur bahwa urbanisasi menjadi sumber masalah karena kebodohan para pemimpin daerah tersebut. Karena salah urus, kini terjadi pelambatan kemampuan kota untuk menopang masyarakat lokal dan pendatang. Itu adalah kegagalan para kepala daerah sendiri yang tidak menyiapkan ruang besar agar kotanya ramah bagi semua orang. Tentu saja satu kepala daerah tidak akan bisa menyelesaikan masalah urbanisasi ini diperlukan kerja besar pusat dan daerah.
Masifnya Urbanisasi Sinyal Tidak Efektifnya Dana Desa
Kingsley Davis mengatakan urbanisasi adalah peningkatan proporsi jumlah penduduk yang memusatkan diri di wilayah perkotaan. Beberapa ahli bersepakat bahwa faktor utama terjadinya urbanisasi adalah faktor ekonomi. Selain itu juga kurangnya lapangan pekerjaan, minim sarana dan prasarana, dan minim fasilitas pendidikan maupun pembangunannya di desa. Saat di desa kekurangan, mereka akan beralih ke kota (Berger & Engzwll, 2020).
Jadi untuk meredam urbanisasi ke kota besar yang ada, harus ada kebijakan transformasi desa menjadi urban style development sehingga orang di desa tidak perlu migrasi ke kota yang ada. Bahkan mereka akan tetap di wilayahnya untuk membangun tempat tinggalnya. Bagaimana caranya? Menjadikan dana desa yang ada saat ini benar-benar sebagai upaya tranformasi ke arah sana, bukan dana desa untuk memperkaya perangkat desa.
Sayangnya, kinerja dana desa saat ini tidak diarahkan untuk menahan laju urbanisasi. Dana desa seharusnya dapat menciptakan lapangan pekerjaan, memperbaiki sarana dan prasarana dan meningkatkan pendidikan masyakarat desa. Faktanya, dana desa belum menyelesaikan persoalan tersebut.
Kenapa dana desa belum efektif. Karena penggunaan tidak diarahkan menuju pengurangan urbanisasi.
Bagaimana Menjadikan Urbanisasi Solusi Pertumbuhan: Harus Mulai dari Paradigma Pemimpin
Indonesia perlu serius mencari pemimpin ke depan. Indonesia butuh sosok pemimpin yang benar-benar mampu menjadikan dana desa efektif untuk tranformasi desa menjadi lebih baik. Pemimpin yang dibutuhkan ke depan adalah pemimpin yang mampu menciptakan kolaborasi ekonomi sehingga manfaat konektivitas desa-kota tidak dikuasi segelintir orang seperti saat ini hanya para tengkulak besar saja.
Solusi urbanisasi diantaranya adalah melakukan tranformasi desa dengan cepat dan disaat bersamaan memperbaiki kemampuan kota-kota besar yang ada untuk menerima lebih banyak pendatang. Dua arah pembangunan tersebut bisa dilakukan manakala terjadi aliran kolaborasi yang lancar dan saling membutuhkan. Bukan seperti sekarang dimana mentalitas pemimpin daerah hanya memikirkan daerahnya sendiri, tidak ada konektivitas dan tidak ada kolaborasi.
Solusi lain adalah menjadikan dana desa menjadi efektif sehingga menjadi sumber pembangunan baru, bukan sekedar alat kampanye dan alat ucapan terima kasih atas menangnya kandidat politik oleh desa tersebut.
Paradigma pemimpin yang dibutukan adalah pemimpin yang menyadari bahwa pendatang dari desa dan penduduk kota bukan masalah, satu sama lain saling membutuhkan dan solusi urbanisasi adalah kolaborasi ekonomi desa-kota yang terkoordinasi satu sama lain.
Semoga tahun depan, tidak ada lagi ancam-mengancam kaum pendatang ke kota besar. karena itu sesuatu yang kejam bagi masyarakat yang ingin menjadi lebih baik.
Penulis : Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta