Siwindumedia.com – Kerusuhan Mei 1998 tercatat sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia. Peristiwa kelam Mei 1998 ini terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia.
Salah satu penyebab pemicu terjadinya Kerusuhan Mei 1998 adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997. Saat itu, banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek besar juga dihentikan.
Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia.
Pada tanggal 12 Mei 1998, sekitar pukul 11.00-13.00, ribuan mahasiswa Universitas Trisakti melakukan aksi damai di dalam kampus. Setelah itu, mahasiswa mulai turun ke Jalan S Parman dan hendak berangkat ke gedung MPR atau DPR.
Dalam unjuk rasa tersebut, ada empat korban jiwa yang tewas tertembak. Mereka adalah mahasiswa Universitas Trisakti.
Penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 tersebut berbuntut panjang sehingga menyulut emosi masyarakat.
Keesokan harinya, pada 13 Mei 1998 di Jakarta, mahasiswa Trisakti kembali berdemonstrasi sebagai bentuk protes atas tindakan represif aparat.
Di sisi lain, di hadapan masyarakat Indonesia di Kairo, Mesir, Presiden Soeharto menyatakan bahwa jika rakyat menghendaki, dirinya tidak akan mempertahankan kedudukannya.
Aksi demonstrasi dilakukan di depan kampus Trisakti, Jakarta Barat itu kembali berujung ricuh, dan diwarnai dengan pembakaran pom bensin serta pengrusakan pos polisi di Terminal Grogol.
Massa yang semula hanya berjumlah ratusan, kian bertambah setelah berbagai kelompok turut bergabung dalam gerakan mahasiswa Trisakti. Bukan hanya itu, aksi yang awalnya hanya di sekitar Trisakti kemudian meluas ke arah utara dan timur Jakarta.
Jakarta menjadi lautan aksi massa yang tersebar di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak bisa dihindarkan.
Merangkum data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Mei ‘98, para pelaku kerusuhan saat itu terdiri atas dua golongan, yaitu massa pasif (pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan provokator yang umumnya bukan dari wilayah setempat.
Para provokator tersebut secara fisik tampak terlatih. Mereka berpakaian seadanya. Mereka juga tidak ikut menjarah dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator juga membawa sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.
Kerusuhan tak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga menyebar hingga ke Bogor, Tangerang, Bekasi, Solo, Yogyakarta, Padang, dan Palembang.
Namun, sekali lagi, aksi kembali berujung pada pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran fasilitas umum, gedung perkantoran, mal, pertokoan, serta kendaraan aparat atau pribadi. Sasaran amukan para pengunjuk rasa tak hanya mengarah keturunan Tionghoa, tetapi juga masyarakat pribumi. Tindakan kriminalitas lain turut terjadi, termasuk kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga aksi pemerkosaan massal.
Titik picu kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya di seputar Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998. Sementara pada 14 Mei 1998, kerusuhan meluas dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang pukul 08.00 sampai 10.00 WIB.
Jika dilihat dari urutan waktu, ada semacam aksi serentak. TGPF berpendapat, faktor pemicu kasus kerusuhan di Jakarta ini ialah terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.
Akibat kerusuhan massa ini, sejumlah bangunan seperti toko, swalayan, atau rumah rusak dan terbakar. Harta benda berupa mobil, sepeda motor, barang dagangan, dan barang-barang lain juga dijarah, serta ada pula yang dibakar massa. Sejumlah warga juga terpaksa kehilangan pekerjaan karena gedung atau tempat kerjanya dirusak, dijarah, dan dibakar massa. Ironisnya, mereka yang menjadi korban hanyalah masyarakat biasa.
Hingga kini, sulit diketahui angka pasti jumlah korban dan kerugian dalam kerusuhan tersebut. Untuk kerusuhan di Jakarta saja, sejumlah lembaga memiliki data yang simpang siur satu sama lain.
Polda Metro Jaya mencatat sebanyak 451 orang tewas akibat kerusuhan ini. Jumlah tersebut berbeda dengan data yang diperoleh Kodam Jaya yang mencatat 463 meninggal dan Pemprov DKI Jakarta yang merilis ada 288 korban yang tewas. Data tersebut belum termasuk aksi pelecehan seksual dan perkosaan yang dialami sejumlah perempuan etnis tertentu.
Korban meninggal dunia dalam kerusuhan Mei 1998 disebabkan berbagai kondisi, yakni terbakar, luka akibat senjata atau alat lain, hingga pembunuhan dan pemerkosaan. Bukan hanya itu, terdapat 159 korban kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998.
Dari hasil verifikasi saksi dan korban, TGPF menemukan fakta bahwa koordinasi antara satuan keamanan kurang mamadai, adanya keterlambatan antisipasi, adanya aparat keamanan di berbagai tempat tertentu membiarkan kerusuhan terjadi, ditemukan adanya di beberapa wilayah bentrokan antarpasukan, dan adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana.
Masyarakat beranggapan bahwa di beberapa lokasi telah terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, atau bila ada tidak berbuat apa-apa untuk mencegah atau meluasnya kerusuhan.
Sebaliknya, para pejabat keamanan berkeyakinan tidak terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, meskipun disadari kenyataan menunjukkan bahwa untuk lokasi tertentu masih tetap terjadi kerusuhan (di luar prioritias pengamanan), hal ini disebabkan terbatasnya kekuatan pasukan.