Lahirnya Dinasti Politik Karena Ada Dinasti di Internal Parpol Itu Sendiri
Foto: Kumparan.com

Lahirnya Dinasti Politik Karena Ada Dinasti di Internal Parpol Itu Sendiri

SiwinduMedia.com – Pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, Presiden Soeharto secara resmi menyatakan dirinya berhenti menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Gerakan atau Era Reformasi menjadi peristiwa bersejarah di Indonesia, karena mampu menuntaskan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun, sejak 1966. Praktek KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) banyak terjadi di masa orde baru, sampai saat itu menjadi awal Reformasi di semua bidang. Di era reformasi masyarakat berharap semua nya bisa menjadi lebih baik dibanding era Orde baru.

Dan yang terjadi sekarang ternyata sama saja, harapan tinggal hayalan, praktek-praktek KKN masih terus berlanjut. Di bidang politik misalnya, politik kekeluargaan masih kita lihat hampir di semua partai politik. Jadi apa bedanya?

Politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara.

Seperti dilansir dari laman bawaslu.go.id, Politik dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Dinasti politik yang dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara turun-temurun, atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat.

Baca Juga:  RS Hasna Medika, Rujukan Kesehatan Jantung Warga Kuningan

Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini adalah kekuasaan.

Ada pula praktek dinasti politik dengan melakukan pemecahan kongsi kekuatan politik dalam keluarga, biasanya hal ini ditunjukan dengan salah satu anggota keluarga bergabung dengan partai lain untuk memperebutkan posisi politik. Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik.

Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. ”Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.” anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural.

Baca Juga:  Misteri Investasi Xinyi di Pulau Rempang: Kebohongan, Pemaksaan Warga dan Potensi Kerugian Negara

Beberapa pengamat menilai bahwa, Dinasti politik akan menumbuhkan oligarki politik dan iklim yang tidak kondusif bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik dimana kekuasaan hanya berkutat atau dikuasai oleh orang-orang mempunyai pertalian kekerabatan atau berasal dari satu keluarga, tanpa memberikan celah kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi, disamping itu Politik dinasti akan berdampak buruk bagi akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan, karena cenderung serakah dan rawan terjadinya praktek KKN.

Meskipun ada anggapan bahwa dinasti politik itu tidak masalah, jika memang anggota-anggota yang naik dan menduduki kursi jabatan adalah orang yang memiliki kompetensi dan mampu memberikan perbaikan dalam pemerintahan.

Namun tetap saja dinasti politik yang pada dasarnya dibangun atas hubungan keluarga akan menimbulkan ketidakseimbangan ketika faktor keluarga yang sifatnya pribadi bercampur dengan faktor masyarakat yang sifatnya umum dan menyeluruh.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut akan selalu terjadi dimana kepentingan keluarga atau golongan akan menjadi suatu prioritas yang utama di atas kepentingan umum dalam sebuah dinasti politik.

Baca Juga:  Wakili Kuningan, Desa Jambar Dan Desa Sadamantra Raih Prestasi Sayembara Desa Digital 2023

Politik Dinasti dapat membuat orang yang tidak berkompeten memiliki kekuasaan, tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga.

Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Maka dari itu dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di Negara kita  Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.

Kalau seorang elite politik maju dengan mengandalkan politik dinastinya dan dengan mengesampingkan etika sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus merosot dan rakyat akan menilai ternyata bangsa ini di zaman reformasi dibangun dengan sistem nepotisme.

Penulis : Purnomo Widodo (Jurnalis SiwinduMedia.com)

Cek Juga

Pentingnya ASN Mematuhi Peraturan Perundang-Undangan

Pentingnya ASN Mematuhi Peraturan Perundang-Undangan

SiwinduMedia.com – Aparat Penegak Hukum di dalam menangani sebuah perkara tentunya akan sangat mempertimbangkan secara …