SiwinduMedia.com – Meneruskan usaha turun temurun orang tuanya, Arkim menggeluti profesi sebagai pengrajin batu bata. Lahan sawah yang ia miliki dialihfungsikan menjadi tempat produksi batu bata. Di Desa Kramatmulya khususnya RT 18, Arkim adalah orang yang pertama kali menjadi pengrajin batu bata.
Di saat pengrajin batu bata yang lain banyak yang gulung tikar, entah karena kurang modal atau faktor lainnya. Belum lagi tahun 2019 pandemi Covid-19 menghancurkan perekonomian, Arkim dengan usahanya masih bisa bertahan sampai sekarang ini.
Kepada SiwinduMedia.com, Minggu (4/6/2023), bertempat di lokasi produksi bata miliknya, Arkim menceritakan terkait usahanya. Disebutkan, selama 30 tahun lebih dirinya menjalankan usaha ini. Proses produksi dilakukan berdua oleh dirinya bersama sang istri.
“Saya menjalankan usaha ini berdua saja dengan istri, biar tidak mengeluarkan biaya lagi untuk upah tenaga kerja. Dan selama itu pula dari usaha yang saya jalani, diharapkan bisa membeli ini itu (menjadi kaya, red), tapi tidak kebeli apa pun. Ibaratnya usaha batu bata ini hanya sebatas numpang buat makan dan menyekolahkan anak sampai SMA,” ungkap Arkim.
Tapi semenjak istrinya sudah tidak ada, saat ini Ia memakai tenaga kerja orang lain dengan sistem harian dengan upah untuk produksi satu buah batanya sebesar Rp50.
Jenis batu bata tiap daerah berbeda-beda, memiliki ciri khas masing-masing, tergantung bahan baku yang digunakan, seperti batu bata khas Karangmangu dan Kramatmulya berbeda dengan batu bata daerah Nanggerang atau Sindangbarang atau daerah lainnya.
“Karangmangu dan Kramatmulya menggunakan campuran tanah merah dan pasir untuk proses pembuatan batanya, dan punya kabar bata daerah ini paling bagus dengan bata daerah lainnya,” ujarnya.
Saat ini, usaha batu bata Arkim mempunyai saingan bata jenis baru, yakni Hebel. Dulu membeli pasir masih dengan harga Rp700 ribu per dumptruk. Arkim bisa menjual bata dengan harga 500 rupiah. Saat ini harga pasir sudah 900 ribu tapi harga bata turun jadi 470 rupiah. Hal ini dikarenakan untuk mengimbangi harga dari hebel itu sendiri.
Di tambah proses pencairan uang para pengrajin bata bisa dikatakan lama, karena dari proses pembuatan batu bata itu sendiri memakan waktu yang cukup lama. Dari mulai cetak sampai bata siap jual itu hampir dua bulan, paling cepat satu bulan.
Sementara kebutuhan keluarga tiap hari harus ada. Makanya terkadang para pengrajin bata, menjual produksi miliknya dengan banting harga daripada barang nya tidak laku. Adanya hebel sangat berpengaruh buat para pengrajin batu bata.
SiwinduMedia.com mencari informasi kepada karyawan Toko Material di Desa Cilaja Kecamatan Kramatmulya. Terkait anyaknya pembeli lebih memilih batu bata apa hebel ketika di material.
“Saat ini pembeli lebih banyak memilih hebel dibanding bata. Ada sesekali penjualan bata di toko, tapi dengan jumlah yang kecil. Kemungkinan pembeli tersebut sekedar membangun dengan volume yang sedikit,” ujar Toto (42).
Pada tahun 1924, bata ringan ditemukan di Swedia dan menjadi populer di Eropa. Pembangunan terus terjadi tanpa mengenal teknologi apa yang sedang terjadi. Bata ringan ditemukan jauh setelah bata merah.
Bata ringan ditemukan pada 1924, baru dikembangkan lebih lanjut pada 1943 oleh Joseph Hebel. Baru pada 1967 didirikan pabrik bata ringan pertama di Jepang. Bata ringan sendiri masuk pertama kali di Indonesia pada 1995 di Jawa Barat dengan nama PT Hebel Indonesia.
Masyarakat kemudian mulai memberikan nama Hebel pada bata ringan sejak saat itu. Bata ringan sendiri baru populer sekitar tahun 2012 ketika produsen bata ringan mulai bermunculan.
Dikutip dari laman depobeta, beberapa keunggulan dari bata bata merah antara lain. Kuat dan kokoh, sehingga jarang terjadi keretakan dinding, Tahan lama,
Tahan terhadap panas, Ketahanan yang baik terhadap api.
Beberapa kelebihan dari bata ringan (hebel), antara lain lebih ringan dari pada bata merah biasa sehingga memperkecil beban struktur, Kedap air, Kedap suara yang baik, Kuat tekan yang tinggi. Ketahanan yang baik terhadap gempa bumi.
Salah satu kekurangan batu bata merah adalah tingkat kesulitan untuk membuat pasangan bata yang rapi, dan membutuhkan siar yang besar sehingga cenderung boros dalam penggunaan material perekatnya, mengakibatkan kualitas yang kurang beragam dan ukuran yang beragam sehingga menghasilkan waste yang banyak.
Di lain sisi, bata ringan dapat diangkut dengan lebih mudah, dan pelaksanaannya lebih cepat daripada pemakaian bata biasa. Serta tidak diperlukan plesteran yang tebal.
Dari hasil studi Pusoko (2017), disimpulkan untuk produktivitas pekerjaan seorang pekerja untuk pasangan dinding bata ringan dengan perekat dalam satu hari adalah 17 m2.
Sedangkan, untuk pasangan bata merah dalam satu hari adalah 10 m2. Dengan kata lain. produktivitas seorang pekerja untuk menyelesaikan pasangan dinding bata ringan 1,7 kali lebih cepat dibandingkan dengan pasangan bata merah. Dengan perbedaan kecepatan ini, pemilihan material bata ringan dapat meningkatkan percepatan proyek, sehingga berpotensi untuk menghemat biaya proyek dari segi waktu dan otomatis pada biaya pekerja.
Di Akhir wawancara, Arkim berharap, pemerintah bisa memperhatikan nasib dan kelangsungan para pengrajin batu bata tradisional. Jangan hanya petani atau pekerjaan yang lain, kami juga harus diperhatikan.
“Mengenai pembelian bahan bakar buat mesin lio (mesin untuk membuat bahan jadi batu bata, red) misalnya, cuma bisa seadanya tanki motor yang dibawa tidak boleh membeli pakai jerigen padahal maksimal kami hanya membeli lima liter pertalite saja tidak lebih,” pungkas Arkim.