SiwinduMedia.com – Angka perceraian di Indonesia pada tahun 2022 paling banyak terjadi di Jawa Barat. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 516.344 kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2022.
Jumlah tersebut meningkat 15,3% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus.
Berdasarkan wilayahnya, perceraian paling banyak terjadi di Jawa Barat, yakni 113.643 kasus. Jawa Timur menyusul di urutan kedua dengan 102.065 kasus perceraian. Sebanyak 85.412 kasus perceraian juga terjadi di Jawa Tengah.
Kemudian, perceraian yang terjadi di Sumatera Utara ada 20.029 kasus dan Jakarta ada 19.908 kasus.
Sementara, perceraian paling sedikit terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), yaitu 603 kasus. Di atasnya ada Maluku dan Maluku Utara dengan jumlah perceraian berturut-turut sebanyak 947 kasus dan 1.488 kasus.
Adapun, penyebab perceraian terbesar di Indonesia karena perselisihan dan pertengkaran di dalam rumah tangga. Jumlahnya tercatat sebanyak 284.169 kasus sepanjang tahun lalu.
Lalu, perceraian yang disebabkan karena faktor ekonomi sebanyak 110.939 kasus. Kemudian, 39.359 kasus perceraian akibat suami/istri meninggalkan salah satu pihak. Ada juga karena faktor poligami.
Berikut 5 nama daerah di Jawa Barat yang jumlah perceraiannya tertinggi sampai tahun 2022, sehingga Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah perceraian terbanyak di Indonesia.
Berikut 5 daerah dengan perceraian tertinggi di Jawa Barat:
1. Kabupaten Indramayu
Tahun 2020: 353 kasus, tahun 2021: 8.026 kasus, dan tahun 2022: 9.152 kasus.
2. Kabupaten Bandung
Tahun 2020: 1.904 kasus, tahun 2021: 7.888 kasus, dan tahun 2022: 8.706 kasus.
3. Kabupaten Bogor
Tahun 2020: 551 kasus, tahun 2021: 6.524 kasus, dan tahun 2022: 8.684 kasus.
4. Kabupaten Cirebon
Tahun 2020: 7.223 kasus, tahun 2021: 7.112 kasus, dan tahun 2022: 8.084 kasus.
5. Kabupaten Garut
Tahun 2020: 335 kasus, tahun 2021: 5.509 kasus, dan tahun 2022: 6.384 kasus.
Dikutip dari Inilah koran, menurut anggota Komisi V DPRD Jabar Siti Muntamah mengatakan, problematika sosial ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah. Seluruh elemen diakui Siti Muntamah harus bahu-membahu, mencari solusi guna mengatasi persoalan perceraian di Jabar tersebut.
“Dampak paling besar akibat persoalan ini adalah anak-anak yang sejatinya menjadi ujung tombak negara di masa depan. Sehingga dikhawatirkan akan memengaruhi psikologis dan tumbuh kembang anak, yang tentunya akan berdampak dengan pola pikir mereka,” ujar Siti.
Masih kata Siti, mayoritas kasus perceraian di Jabar itu diakibatkan faktor ekonomi sebagai penyebab utama. Ini PR kita semua, saya tidak bisa mengatakan ini tugas pemerintah saja.
Meski demikian, Siti Muntamah tidak menampik pemerintah khususnya Pemprov Jabar turut bertanggungjawab akan persoalan ini karena selaku pemilik kebijakan. Maka dari itu dia berharap, ada langkah strategis yang dilakukan guna mengatasi penyebab perceraian di Jabar.
“Tapi yang paling bertanggungjawab tetap pemerintah, karena memiliki kebijakan. Misal penyebab utama perceraian ekonomi, akibat pengangguran. Maka harus dicarikan solusinya melalui anggaran, ditambah literasi peningkatan ketahanan keluarga,” ucapnya.