SiwinduMedia.com – Kasus hukum yang melibatkan tokoh politik di Indonesia bukan hal yang baru. Namun, saat kasus tersebut muncul di saat-saat kritis seperti menjelang pemilihan presiden, pertanyaan akan motif dan timingnya menjadi sangat relevan. Dalam kasus Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin, meskipun dirinya hanya dipanggil sebagai saksi, konteks waktunya sangat menarik untuk dicermati.
Berikut poin yang menjadi perhatian publik:
*Lamanya Penanganan Kasus*
Lamanya penanganan kasus dalam konteks hukum kerap kali menimbulkan spekulasi dan keraguan di kalangan masyarakat. Apabila kasus-kasus tertentu terkesan “diparkir” atau disimpan untuk waktu yang lama, persepsi masyarakat mungkin beralih ke arah keyakinan bahwa ada niat tersembunyi di baliknya, khususnya dalam konteks politik. Penundaan penyelesaian kasus dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk menjatuhkan atau menjegal lawan politik di saat yang tepat.
Ketika sebuah kasus yang berpotensi memiliki dampak politik tidak segera dituntaskan, hal ini dapat menciptakan ketidakpastian dan kekhawatiran bagi pihak-pihak yang terlibat. Lawan politik mungkin merasa terancam dengan adanya “senjata” berupa kasus yang bisa digunakan kapan saja untuk menyerang mereka. Dalam skenario ini, kasus hukum berpotensi menjadi alat dalam pertarungan politik, bukan lagi murni sebagai proses penegakan hukum.
Hal ini bukan hanya merugikan individu atau pihak yang menjadi subjek kasus, tetapi juga merusak integritas sistem hukum itu sendiri. Ketika proses hukum dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik, masyarakat kehilangan kepercayaan bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan tanpa pandang bulu. Untuk mengembalikan kepercayaan tersebut, penting bagi aparat hukum untuk bekerja dengan transparansi, profesionalisme, dan dedikasi penuh untuk menuntaskan setiap kasus berdasarkan bukti dan fakta yang ada, tanpa intervensi atau tekanan dari kepentingan politik manapun.
Jika bicara terus terang bahwa sebagian publik menilai tentang kasus-kasus korupsi yang melibatkan kelompok pendukung penguasa seperti kasus Harun Masiku yang hingga saat ini terkesan didiamkan. Sebagian publik pun menilai bahwa pelaku korupsi tidak diusut atau dihukum ringan saat pro penguasa, tapi diungkap saat jadi lawan politik.
Pada kasus yang melibatkan Muhaimin ini walaupun disanggah tapi tetap saja indikator bahwa kasus ini dipolitisasi itu sangat kuat.
*Timing Pemanggilan disaat Ada Proses Politik*
Timing pemanggilan dalam konteks hukum yang terkesan strategis bisa menjadi indikasi adanya motif lain di balik proses penegakan hukum. Ketika pemanggilan terhadap individu atau kelompok tertentu terjadi tepat di momen krusial, seperti menjelang pemilihan, atau saat individu tersebut sedang naik daun di panggung politik, masyarakat mungkin akan merasa ada sesuatu yang “tidak beres”. Pemanggilan dengan timing yang seperti ini seolah menjadi senjata pamungkas yang dikeluarkan untuk menyingkirkan lawan politik.
Dalam negara hukum, setiap proses harus didasarkan pada prinsip-prinsip objektivitas, keadilan, dan tanpa diskriminasi. Namun, ketika timing pemanggilan terkesan bermain dalam dimensi politik, kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem hukum bisa tergerus. Mereka mungkin mulai meragukan apakah proses hukum tersebut benar-benar berjalan berdasarkan bukti dan fakta yang ada, atau justru digerakkan oleh kepentingan politik tertentu.
Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum adalah hal yang fundamental. Kehilangan kepercayaan ini berarti merusak fondasi dari negara hukum itu sendiri. Oleh karena itu, penting bagi aparat hukum untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil, termasuk timing pemanggilan, benar-benar didasarkan pada pertimbangan hukum yang murni dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik atau pihak manapun. Sebuah pemanggilan harus dilakukan berdasarkan bukti yang kuat, dan bukan karena desakan atau tekanan dari pihak tertentu yang ingin memanfaatkan momentum politik.
*Peran KPK Terkesan jadi Alat Politik Status Quo*
Peran KPK dalam pemberantasan korupsi seharusnya tetap menjadi simbol integritas dan keadilan. Sebagai lembaga yang diberi amanah besar oleh negara dan masyarakat untuk memberantas tindakan korupsi, KPK harus berdiri teguh dalam menjalankan tugasnya dengan penuh objektivitas dan tanpa intervensi dari kepentingan mana pun. Namun, ketika KPK terlihat seperti alat dalam pertarungan politik dan seolah menjadi ‘tukang pukul’ bagi penguasa untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini bisa terancam.
Penting bagi KPK untuk menjaga independensinya. Lembaga ini harus menjauhkan diri dari upaya-upaya manipulasi atau pengaruh yang dapat merusak objektivitasnya dalam menangani kasus-kasus korupsi. Dalam menjalankan tugasnya, KPK harus berpedoman pada bukti-bukti yang ada dan hukum yang berlaku, bukan berdasarkan tekanan atau instruksi dari pihak tertentu. Kepercayaan publik terhadap KPK adalah aset yang tidak ternilai harganya. Hilangnya kepercayaan ini bisa menghambat upaya pemberantasan korupsi yang selama ini telah dibangun dengan susah payah.
Dalam situasi di mana persepsi masyarakat terhadap KPK mulai tercoreng, langkah-langkah pemulihan harus segera diambil. Transparansi dalam setiap tindakan yang dilakukan, penerapan prinsip akuntabilitas, serta upaya komunikasi yang efektif dengan masyarakat bisa menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan tersebut. KPK harus kembali pada esensi tugasnya, yaitu sebagai garda terdepan dalam upaya memberantas korupsi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan integritas, serta memastikan bahwa tindakan hukum dilakukan murni untuk kepentingan penegakan hukum dan bukan kepentingan lainnya.
*Politik vs Hukum*
Indonesia perlu bergerak dari paradigma di mana hukum kerap kali dicampuradukkan dengan politik. Setiap warga negara, tidak peduli seberapa tinggi jabatannya, seharusnya diperlakukan sama di mata hukum.
Sebagai penutup, pemanggilan Cak Imin oleh KPK memang bisa jadi merupakan bagian dari prosedur hukum biasa. Namun, aspek timing dan latar belakang politik yang mewarnai kasus ini tentu memerlukan kajian lebih mendalam. Agar masyarakat tetap memiliki kepercayaan pada lembaga hukum, transparansi dan keadilan harus selalu diutamakan.
Politik dan hukum, dua entitas yang seringkali dianggap berbeda namun saling ketergantungan, memiliki dinamika yang kompleks dalam kehidupan bermasyarakat. Di satu sisi, politik merefleksikan keinginan dan kebutuhan masyarakat dalam bentuk kebijakan, sedangkan hukum memberikan kerangka dasar yang mengatur dan memastikan keadilan berjalan dalam masyarakat tersebut. Keduanya menjadi bagian integral dari setiap negara yang berfungsi dengan baik, namun sering kali masuk dalam zona konflik ketika kepentingan-kepentingan tertentu mulai bercampur.
Sebagai contoh, ketika kebijakan politik dibuat berdasarkan kepentingan kelompok atau individu tertentu tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan dan kesetaraan, maka hukum dapat menjadi alat untuk memperjuangkan hak dan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan. Namun, dalam banyak kasus, hukum juga dapat disalahgunakan untuk tujuan politik, seperti pembungkaman kritik atau pemberangusan oposisi. Ini menciptakan ketegangan konstan antara apa yang dianggap sebagai tindakan politik yang sah dan apa yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum.
Penting bagi setiap masyarakat untuk memahami bahwa meskipun politik dan hukum dapat berjalan beriringan, keduanya harus dijaga agar tetap dalam koridornya masing-masing. Masyarakat yang demokratis memerlukan kedua unsur tersebut untuk berfungsi dengan baik, tetapi harus selalu waspada terhadap potensi penyalahgunaan dari kedua sisi, baik dalam ranah politik maupun hukum. Sebab lembaga hukum yang mengumpulkan dosa-dosa seseorang dan diangkat saat ada proses politik artinya hukum dipolitisasi.
*Rekomendasi*
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda utama banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagai penyakit sosial, korupsi merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan menghalangi pembangunan berkelanjutan. Agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan responsif, objektif, dan murni dalam rangka penegakkan hukum tanpa terkontaminasi oleh kepentingan politik, ada beberapa rekomendasi yang bisa diusulkan.
Pertama, diperlukan pemisahan yang tegas antara lembaga penegak hukum dengan kepentingan politik. Lembaga anti-korupsi harus benar-benar independen dan memiliki otonomi penuh dalam menjalankan tugasnya. Anggaran, kebijakan, dan proses pengambilan keputusan harus bebas dari intervensi eksternal, khususnya dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik.
Kedua, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam setiap tindakan. Setiap proses penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan harus dapat dipantau oleh publik. Adanya akses informasi yang mudah bagi masyarakat dapat membantu dalam pengawasan dan pencegahan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga, perkuat sistem pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum. Mereka harus dilengkapi dengan pengetahuan, keterampilan, dan etika kerja yang kuat untuk menghadapi berbagai tekanan dan godaan yang mungkin muncul dalam menjalankan tugasnya. Pelatihan yang berkelanjutan dan pertukaran pengetahuan dengan lembaga serupa di negara lain dapat meningkatkan kapasitas dan profesionalitas mereka.
Terakhir, masyarakat harus terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi. Pendidikan dan sosialisasi mengenai bahaya korupsi dan pentingnya integritas harus terus menerus dilakukan. Masyarakat yang terinformasi dan sadar akan hak-haknya akan lebih mudah mengenali dan melaporkan tindak korupsi. Adanya dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat akan memperkuat komitmen pemberantasan korupsi dan memastikan bahwa tindakan tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan publik dan kesejahteraan negara.
Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)